Ekonomi

Perlambatan Ekonomi Global Makin Terasa, Ekspor Komoditas Indonesia Tertekan 

JAKARTA-Ancaman perlambata ekonomi global semakin terasa, mengingat potensi eskalasi perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China masih belum surut. Dampaknya, terasa kepada ekspor komoditas Indonesia yang sepanjang pekan terakhir terus tertekan.

Hampir semua komoditas tercatat mengalami pelemahan harga, hanya nikel dan emas saja yang berhasil menguat dalam periode satu minggu. Pada perdagangan Jumat, 24 Mei 2019 pekan kemarin, harga Nikel ditutup di posisi 12.355 US Dolar per-ton. Kenaikan ini adalah yang paling tinggi dalam sepekan, yakni mencapai 2,85 persen. 

Hal tersebut tidak terlepas dari faktor fundamental (pasokan-permintaan) yang memang mendukung. Sepanjang periode 17-24 Mei 2019, inventori nikel di gudang-gudang yang dimonitor oleh London Metal Exchange (LME) berkurang hingga 342 ton atau 0,21%. Pasokan yang semakin ketat tentu saja membuat harga mendapat dorongan ke atas.

Apalagi saat ini kebutuhan nikel meningkat karena perkembangan industri mobil listrik (electric vehicle).

Sebagai informasi, sepanjang tahun 2018, penjualan mobil listrik di China melonjak hingga 62% menjadi 1,3 juta unit dibanding tahun sebelumnya.

Sementara itu, Asosiasi Industri Kendaraan Bermotor China memperkirakan penjualan mobil listrik tahun 2019 akan sebesar 1,6 juta unit, atau meningkat hingga 23% year-on-year (YoY).

Peningkatan penjualan mobil listrik sudah tentu akan membuat permintaan nikel semakin banyak. Sebab, nikel merupakan salah satu bahan baku produksi baterai mobil listrik. Tak hanya itu ,nikel juga merupakan bahan baku berbagai industri lain.

Selain nikel, emas merupakan komoditas yang berhasil mencatat penguatan secara mingguan.

Harga emas COMEX kontrak pengiriman Juni ditutup di posisi US$ 1.283,6/troy ounce pada hari Jumat (24/5/2019) atau menguat 0,62% dalam sepekan.

Sementara perang dagang AS-China semakin memamas, setelah kedua negara resmi meningkatkan tarif impor. 

Terbaru AS, memasukkan raksasa teknologi asal China, Huawei ke dalam daftar hitam. Akibatnya, perusahaan AS tidak lagi dapat membeli produk Huawei tanpa izin pemerintah. Pun ternyata dampaknya meluas. Perusahaan-perusahaan dari berbagai negara ikut memutus hubungan dengan Huawei.

China pun dikabarkan tidak lagi punya hasrat untuk melanjutkan perundingan dagang dengan AS.

"Jika AS ingin melanjutkan perundingan dagang, maka mereka harus tulus dan memperbaiki kesalahannya. Negosiasi hanya bisa berlanjut bila didasari kesamaan dan saling menghormati. Kami memantau perkembangan terkini dan siap melakukan langkah-langkah yang diperlukan," tegas Gao Feng, Juru Bicara Kementerian Perdagangan China, mengutip Reuters.

Kala kondisi perekonomian global tengah tak pasti, investor memang cenderung mengoleksi emas karena nilainya yang relatif lebih stabil. Itu yang membuat emas seringkali dijadikan sebagai pelindung nilai (hedging).

Namun dampak kekhawatiran perang dagang terbukti berhasil membuat harga sebagian besar komoditas terkoreksi.

Sebab, yang sedang berperang merupakan negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Rantai pasokan global akan semakin melambat (dari yang sudah lambat), membuat aktivitas industri semakin lesu. Permintaan komoditas sebagai bahan baku dan energi pun berpotensi berkurang.

Terlebih untuk harga minyak mentah jenis Brent yang terkoreksi paling dalam, yakni sebesar 4,87% secara point-to-point.

Sementara permintaan berpotensi berkurang, harga minyak tertekan peningkatan inventori minyak mentah di AS.

Stok minyak mentah AS untuk minggu yang berakhir pada 17 Mei 2019 melonjak hingga 4,7 juta barel, mengantarkan posisi inventori ke level 476,8 juta barel atau tertinggi sejak Juli 2017. Data tersebut diungkapkan oleh lembaga resmi pemerintah AS, Energy Information Administration (EIA) pada hari Rabu (22/5/2019).

Kombinasi peningkatan inventori dan pelemahan inventori menjadi paduan yang cocok untuk menekan harga minyak.(rdh/net) 
 


[Ikuti SawitPlus.co Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar